SUKASELAM.COM, Jakarta - Industri penambangan dan pengolahan nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, telah menimbulkan degradasi lingkungan hidup, kerusakan hutan, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
"Pemerintah Indonesia sebaiknya segera mengevaluasi kembali kebijakannya dalam pengembangan industri nikel di Teluk Weda. Hasil penelitian dan investigasi kami, industri ini telah menimbulkan banyak implikasi buruk terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup di sekitar Teluk Weda, terutama di Desa Lalifet dan Desa Sagea, yang menjadi lokasi kawasan industri nikel," ujar Brad Adams, Direktur Eksekutif Climate Rights International (CRI), dalam presentasi hasil penelitian dan investigasi CRI berjudul: Nikel Dikeduk Dampak Industri Nikel di Indonesia Terhadap Manusia dan Iklim, di Jakarta, Rabu (17/1).
Menurut Brad Adams, 30 tahun lalu ketika ia jalan-jalan di sekitar Morowali dan Teluk Weda, hutan di sana masih asli, air dari sumber mata air bisa dia minum langsung.
"Namun, sekarang, saya lihat banyak sekali kerusakan akibat kehadiran industri nikel. Saya kini kalau sedang di Morowali, tidak lagi berani minum air langsung dari mata air. Terlalu beresiko, kualitasnya sangat buruk,' ujar Brad.
Brad Adams sudah tidak asing di Indonesia.
Sebelum mendirikan CRI pada tahun lalu yang berkantor pusat di San Francisco, Amerika Serikat, Brad Adams telah menghabiskan lebih 20 tahun bekerja sebagai kepala biro Human Rights Watch (HRW) Asia, dan sudah sering mengunjungi pedalaman Indonesia.
Brad dalam presentasinya kepada wartawan di Jakarta, didampingi oleh Krista Shennum, peneliti CRI; dan Zaki Amali, peneliti Trend Asia.
Penyerobotan Tanah
PT IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park) yang mengelola kawasan ini diduga telah melakukan banyak pelanggaran yang merugikan masyarakat sekitar.
Maklon Lobe, laki-laki 42 tahun asal Desa Gemaf, mengaku, seperti dikutip dari paper laporan penelitian ini, pada tahun 2018 tanahnya 38 hektar telah diserobot dan ditebangi pohon-pohonnya oleh PT IWIP tanpa ijin, tanpa mahar, dan tanpa pengganti.
Menurut Maklon Lobe, ketika itu PT IWIP baru memulai membuka proyek tambang nikel.
Tiba-tiba datang langsung menebangi pohon-pohon miliknya, memblokir jalan untuk memutus akses ke kebunnya, dan menggali tanah sekitar tanpa ijinnya.
Ia telah berkali-kali bertemu dengan perwakilan IWIP selama 2018-2022 untuk membahas kompensasi.
Selama periode itu pula, berkali-kali aparat kepolisian mendatanginya.
Dengan memaksa polisi itu meminta penjelasan mengapa Maklon enggan menjual lahannya kepada PT IWIP.
Setelah berkali-kali dipaksa, Maklon akhirnya menyerah.
Meskipun ia memegang sertifikat tanah 38 hektar yang memastikan kepemilikannya, IWIP kala itu hanya mau membayar 8 hektar, dan sisanya tidak pernah dibayarkan oleh IWIP hingga sampai sekarang.
"Kisah yang dialami Maklon ini, salah satu penggalan kecil yang membuktikan pengoperasian dan pembangunan PT IWIP telah menghancurkan kehidupan masyarakat lokal. Praktek seperti itu harus dihentikan, selain berbagai praktek lain yang menyebabkan kerusakan signifikan pada lingkungan sekitar dan iklim global," ujar Krista Shannum, dari CRI.
Untuk penelitian ini, CRI telah mewawancarai sekurangnya 45 orang terutama warga sekitar proyek yang terdampak langsung.
Yang menggambarkan berbagai macam ancaman serius terhadap hak atas tanah, hak untuk menjalani hidup tradisional, hak untuk mengakses air bersih, dan hak atas kesehatan akibat kegiatan penambangan, peleburan, dan pengolahan di area tambang yang menghasilkan pencemaran udara yang lebih buruk.
Beberapa perusahaan tambang selain PT IWIP, juga telah mempekerjakan preman untuk melakukan perampasan tanah, pemaksaan, dan intimidasi terhadap masyarakat adat dan komunitas lain.
Sebuah pos brimob dan pos tentara juga telah dibangun di area komplek tambang. Meskipun tidak ada relevansinya dengan penambangan.
Hasil analisis geospasial oleh CRI, PT IWIP telah menggunduli hutan tropis Halmahera yang kaya, setidaknya seluas 5.331 hektar, sejak IWIP berdiri pada 2018 hingga sekarang.
Tanah, kebun, dan hutan di sekitar PT IWIP telah dirampas, digunduli, dan digali (ditambang) oleh perusahaan tanpa ijin dan tanpa persetujuan dengan pemilik lahan.
Tesla, Ford, VW
Hasil penelitian CRI, saham dominan PT IWIP dimiliki oleh 3 perusahaan asal China yakni Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt, dan Zhenshi Holding Grup, dengan penyertaan saham BUMN dari PT Aneka Tambang (Antam) yang menguasai saham kurang lebih 10 persen.
Proyek ini bisa cepat terlaksana karena didukung dan difasilitasi penuh oleh Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenkomarinvest).
Hanya perlu waktu sekira dua tahun, sejak awal proyek dimulai pada 2018 hingga pada 2020 industri ini sudah berjalan dan berproduksi secara penuh sampai sekarang.
Pusat industri tambang dan pengolahan nikel Teluk Weda merupakan yang terbesar nomor 2 di Indonesia, setelah tambang nikel di Pulau Obi dan industri nikel di Morowali.
Menurut Brad Adams, nikel hasil pengolahan tambang PT IWIP di Teluk Weda ini, dibeli dan dimanfaatkan oleh 3 perusahaan mobil listrik terbesar di dunia yakni Tesla, Ford dan VW (Volkswagen).
"Hasil produksi nikel di Teluk Weda di bawa ke China, dari China kemudian dijual dan disalurkan ke pasar internasional (Tesla, Ford, dan VW). Indonesia sendiri hanya dapat sedikit," ujar Brad Adams.
Selain 3 perusahaan konglomerasi asal China itu, kini juga semakin banyak perusahaan asing yang mengumumkan rencana membangun pabrik baterai EV di kompleks PT IWIP Teluk Weda untuk mendekatkan dengan bahan baku.
Diantaranya EV Eramet dan BASF yang berencana membangun fasilitas pemurnian nikel dan kobalt, dengan kapasitas hingga 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt.
Selain itu, perusahaan Korea, POSCO, juga telah mengumumkan rencananya untuk bergabung di dalam komplek industri nikel PT IWIP di Teluk Weda, dengan membangun fasilitas pemurnian nikel dengan kapasitas sekitar 52.000 metric ton nikel per tahun. Jumlah ini cukup untuk memproduksi sekira 1 juta mobil listrik per tahun. Investasinya senilai 441 juta dollar Amerika Serikat
Polusi Udara
Menurut peneliti dari Trend Asia, Zaki Amali, salah satu paradoks dari industri penambangan dan pengolahan nikel PT IWIP di Teluk Weda, adalah pemanfaatan PLTU untuk mencukupi kebutuhan listrik.
"Meski tujuan dan semangat industri nikel adalah untuk mendorong transisi energi, dari energi fosil ke listrik, namun IWIP masih menggunakan PLTU untuk mencukupi kebutuhan listrik industri. Hingga saat ini sudah membangun 5 PLTU dari rencana 14 PLTU, dengan memanfaatkan bahan bakar berupa pasokan batubara dari Kalimantan," ujar Zaki.
Tingkat polusi udara di sekitar Teluk Weda, terutama di sekitar kompleks pertambangan IWIP, mencapai dua kali lipat tingkat polusi udara Jakarta yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor.
"Polutan akibat gas buangan PLTU lebih berbahaya daripada polutan kendaraan bermotor. Ribuan ton batubara didatangkan ke Teluk Weda dari Kalimantan. Dengan adanya 5 PLTU yang sekarang sudah beroperasi, tingkat konsumsi batubara di IWIP bisa dibilang sudah melebihi seluruh kebutuhan batubara di Brasil atau Spanyol. Padahal rencananya masih akan dibangun 9 PLTU lagi," tambah Zaki Amali.
Tidak Ada Lagi Julung-julung
Teluk Weda adalah salah satu destinasi selam terbaik di Halmahera.
Terumbu karang tepi di sekitar Teluk Weda dan pulau-pulau kecil subur dan menarik di selami. Sekitar 40an situs selam telah terpetakan di sepanjang Teluk Weda dan pulau-pulau kecil.
Namun, kehadiran industri pertambangan dan pengolahan nikel skala besar, sedikit banyak telah menurunkan kualitas perairan dan jumlah ikan di Teluk Weda.
"Dulu dengan perahu kecil saya sehari bisa mendapatkan 20-30 kilogram ikan dalam sekali melaut. Kini dapat 2-3 kilogram saja semakin sulit," ujar salah seorang nelayan di Pantai Lalifet, seperti dikutip dari laporan CRI.
Menurut Krista Shennum, bahkan ikan julung-julung dan ikan kerapu yang biasanya menjadi andalan konsumsi kebutuhan protein sehari-hari bagi warga Teluk Weda, kini sudah tidak ditemukan lagi.
"Untuk memancing saja, warga mengeluh sudah semakin sulit mendapatkan ikan besar," tambah Krista Shannum. ***
Wahyuana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar