 |
Terumbu Karang Pulau Genteng Kecil, Kapulauan Seribu (Foto: Istimewa)
|
SUKASELAM.COM, Jakarta – Optimisme akan segera
kembali ke situasi normal, semakin membuncah sejak program vaksinasi Covid-19 dimulai pertengahan Januari lalu. Beberapa destinasi selam pelan-pelan mulai menampakkan
geliat menerima tamu kembali. Bagaimana menghadapi situasi ini. Sudah
oke-kah penyelam kembali ke dalam laut. Ngobrol dengan Ricky Soerapoetra,
Ketua Umum Perkumpulan Usaha Wisata Selam Indonesia (PUWSI).
Sudah 5 bulan vaksinasi Covid-19 berjalan. 10 dari 100 orang Indonesia
hari ini sudah divaksin. Apa kini sudah waktu yang tepat untuk kembali menyelam?
Kalau saya pribadi, belum yakin benar. Karena yang sekarang statusnya masih vaksin darurat (emergency use). Artinya
masih belum normal. Kita masih harus waspada. Saya sendiri belum berani
gembar-gembor. Masyarakat sendiri juga belum semuanya sadar vaksin. Jadi harus
diingat, sekarang ini masih belum normal. Tetapi, memang optimisme semakin
berkembang. Dan itu baik sekali bagi dunia wisata selam. Saran saya, tetap
jalankan protokol kesehatan 5M. Boleh saja operator selam kembali aktif, dan mensyaratkan bagi
tamu yang sudah vaksin misalnya. Tetapi, protokol kesehatan harus tetap menjadi
perhatian. Jangan karena telah vaksinasi, operator menjadi abai protokol kesehatan.
Industri wisata selam harus tetap memberlakukan protokol kesehatan, baik untuk pekerja
maupun penyelam.
Apa saran untuk penyelam?
Traveler sekarang harus sadar. Ketika
mereka berwisata, tidak saja harus menghadapi berbagai protokol kesehatan di
lokasi wisata, melainkan juga sejak mereka berangkat ke tempat wisata.
Perjalanan hari ini, sangat beda dengan model perjalanan sebelum pandemi. Main ke
Kepulauan Seribu saja misalnya, kita harus menjalani test swab. Itu berbiaya
dan beresiko. Dan kita harus mematuhi itu, untuk mendukung upaya mempertahankan
Kepulauan Seribu sebagai zona hijau. Kemudian situasi sering berubah-ubah.
Misal, ketika saya sedang di Marina Ancol, tiba-tiba seluruh kawasan Ancol diumumkan ditutup. Karena ditemukan
ada prosedur kesehatan yang lalai dalam layanan pengunjung di Marina. Hal-hal
kecil seperti ini, kini sering akan kita hadapi ketika melakukan traveling di masa masih
berstatus pandemi seperti sekarang. Jadi traveler harus siap. Jangan boring ketika menghadapi masalah.
Saat ini ada 2 tipe traveler. Tipe pertama,
traveler yang willingness. Yang mau
bersusah payah. Mau melakukan browsing
dan riset-riset serius sebelum mereka melakukan perjalanan. Seperti bagaimana
prosedur transportasi menuju lokasi wisata. Apakah destinasi yang akan kita tuju telah diakreditasi secara kesehatan dan menerapkan CHSE. Apa yang hendak kita lakukan
di destinasi wisata nanti. Apa berbagai resiko yang mungkin terjadi disana jika terjadi darurat kesehatan. Bagaimana
emergensinya. Tipe pertama ini, biasanya tipe traveler yang ingin melakukan perjalanan wisata jauh. Seperti
wisata antar provinsi atau antar kabupaten/kota. Tipe kedua, traveler yang engga
mau repot. Engga mau jauh dari keluarga, engga mau menghadapi resiko macam-macam.
Mereka ini yang kini membludak. Biasanya kemudian memilih wisata lokal. Misal anak Jakarta milih nyelam
di Kepulauan Seribu. Atau ke Sangiang, Krakatau, Anyer, Ujung Kulon,
dan Peucang. Tipe kedua ini yang kini membludak, seiring optimisme bersama vaksinasi berjalan. Sedang penyelam tipe pertama belum banyak, itu kenapa
Komodo, Bali, sampai kini masih sepi.
Iya, semua trip weekend ke Kepulauan Seribu kini selalu penuh?
Ya. Kepulauan Seribu mulai kembali ramai di kala weekend. Karena
pergi ke laut memang punya efek paling bagus untuk refreshment dibanding ke tempat lain. Efek imunitasnya lebih kuat.
Sebagian besar orang Jakarta tidak pernah lagi melihat laut selama pandemi. Kini semua orang Jakarta, kangen ingin kembali ke laut. Saran saya, sebelum pergi, kenali lebih dulu
diri kita masing-masing. Apakah kita sehat atau tidak. Apa sudah divaksin atau
belum.
Kini dunia wisata selam membutuhkan traveler-traveler yang lebih bertanggung
jawab, terhadap diri sendiri dan lingkungan. Juga pelaku industri yang
lebih bertanggung jawab dan sadar protokol kesehatan. Agar pelan-pelan dunia wisata
tumbuh kembali ke normal. Sampai hari ini, resort-resort besar di Kepulauan Seribu semua
masih tutup. Tetapi, operator-operator kecil sebagian sudah buka. Dengan jumlah
tamu yang terbatas. Pergi di kala weekdays
lebih disarankan, daripada weekend.
Demi untuk mengurangi kerumunan orang.
Apa saran untuk operator wisata selam?
Di masa masih pandemi seperti sekarang,
semua orang ingin melakukan sesuatu yang positif. Semua ingin do something with positive attitude to her
and to environment. Ini trend dimana-mana, ini yang harus disadari para pelaku industri wisata selam. Semua orang ingin giving
something. Traveling, terutama menyelam, tidak lagi semata kegiatan untuk bersenang-senang, eksplorasi, dan petualangan. Tetapi trend penyelam kekinian, mereka menginginkan suatu pengalaman menyelam dengan tujuan. Kita harus menjawab kebutuhan ini, dengan mengembangkang
paket-paket dive with mission. Karena
semua orang yang mau keluar rumah, kini mempunyai pertanyaan sama, mau ngapain sih kita
pergi keluar rumah. Mau ngapain sih kita ke Komodo. Mau ngapain sih kita nyelam di Kepulauan
Seribu. Operator wisata selam bisa menjawab kebutuhan itu dengan menawarkan paket-paket wisata selam yang berkelanjutan (sustainable tourism). Misal paket menyelam
sambil konservasi tanam terumbu karang, paket menyelam sambil lepas tukik
penyu, atau tanam manggrove. Itu kan kegiatan-kegiatan yang relatif mudah. Dan itu yang dicari sekarang. Karena salah satu efek pendemi, setiap orang ingin mempunyai kontribusi positif pada lingkungan. Kita pelaku wisata,
mesti bisa mengarahkan trend ini. Penyelam kini ingin menyelam yang impactful. Sesuatu yang lebih
bermakna.
 |
Genteng Kecil Jetty, Kepulauan Seribu (Foto: Istimewa)
|
Apa efek pandemi yang paling terasa bagi dunia selam?
Terjadi recovery ekosistem laut dimana-mana. Setahun selama pandemi ini, tekanan terhadap laut
menjadi relatif berkurang. Di Kepulauan Seribu kini menjadi lebih banyak ikan, kesuburan terumbu karang membaik. Nyelam di selatan Pulau Genteng Kecil, dulu biasa-biasa saja,
kini kemungkinan kita bisa bertemu pari elang, bahkan mungkin bertemu dolphin.
Wreck Papa Theo semakin subur terumbu karangnya dan gerombolan ikan selar semakin banyak.
Pulau Bundar softcoral semakin banyak. Pulau Sepa, resort tutup selama
pandemi ini, membuat kini semakin banyak gerombolan barakuda dijumpai di bawah dermaga Sepa. Di
Liberty Wreck, semakin banyak bumphead parrotfish.
Di Biorock Pemuteran, natural recruitment
pada struktur biorock semakin masif. Nyelam di Crystal Rock, Komodo, lebih banyak
kemungkinan kita bertemu hiu. Saya sempat turun di situ selama pandemi ini, dan bertemu
6 hiu ukuran 1,5 meter, sekaligus dalam satu penyelaman. Sesuatu yang jarang terjadi sebelum pandemi.
Dari cerita teman-teman di daerah, kondisinya begitu juga. Bunaken menjadi semakin
menarik. Di Nusa Penida, recovery
terumbu karang lebih cepat. Kalau Raja Ampat tidak banyak terjadi perubahan dari sisi biodiversitas,
tetapi kini menjadi lebih nyaman buat menyepi karena pengunjung jauh berkurang
dan praktis semua layanan liveaboard kini sementara berhenti.
Kabarnya Anda buka resort baru di Genteng Kecil? Apa yang menarik di situ?
Resort kecil-kecilan. Sebenarnya
sudah lama, tapi selama ini belum digarap maksimal. Nah, selama pandemi ini kita lebih punya
banyak waktu untuk memperbaiki. Kini telah siap menerima tamu. Namanya Rumah Putih Genteng Kecil. Letaknya di tengah zona pemanfaatan wisata Taman
Nasional Kepulauan Seribu. Jadi terumbu karang di sekeliling Pulau Genteng Kecil lebih menarik dibanding di kawasan selatan
Kepulauan Seribu. Lokasi sesuai peruntukan. Hanya 10 menit dengan perahu di utara Pulau
kelapa. Meski pulau kecil, sekira 6 hektar, tapi lengkap. Bagi yang suka makro
banyak biota kecil dan nudibranch di situ; bagi yang suka drift dive ada spot drift
sepanjang 200an meter di selat antara Genteng Kecil dan Genteng Besar; terumbu
karang-nya juga lengkap dari boulders-boulders
besar karang porites yang menjadi ciri khas kalau kita menyelam di sekitar Pulau Kelapa;
sea fan gorgonia besar-besar di kedalaman 10an meter; ikan terumbu karang banyak
sekali. Ini juga spot bagus untuk snorkeling dan freediving. Cocok buat lokasi
sertifikasi selam. Kami juga mengembangkan konservasi terumbu karang di sekitar
pulau dengan para nelayan setempat.
Kemenkomarinves memanfaatkan momentum pandemi dengan membuat program
terumbu karang buatan. Adakah sisi manfaat atau sekedar pencitraan saja?
Ya
bagus saja sih, menurut saya. Yang di Bali dari sepanjang pantai Nusa Dua hingga Benoa,
kini telah ditenggelamkan ribuan struktur terumbu buatan. Juga di Buleleng, Sanur,
dan Pandawa. Saya dengan Biorock Indonesia juga diajak berkontribusi melalui proyek biorock di sekitar Pantai Samuh. Sekitar 100 papan biorock telah kami
tenggelamkan di sekitar Samuh dengan memanfaatkan energi listrik dari sel solar.
Hampir semua metode terumbu buatan kini bisa ditemui di Nusa Dua. Namun, tantangan semua proyek rehabilitasi terumbu karang dimana-mana sama, yakni bagaimana
perawatan dan monitoring selanjutnya? Kalau cuma menenggelamkan terumbu buatan itu
gampang. Tetapi perawatan sesudahnya membutuhkan perhatian,
biaya, manajemen, dan butuh waktu bertahun-tahun. Pada sisi
ini saya agak kurang optimis, mampukah proyek itu berlanjut? Karena proyek rehabilitasi terumbu karang itu tidak seperti proyek jalan tol: bangun,
resmikan, jalan. Juga tidak seperti penghijauan: tanam, resmikan, pohon tumbuh
sendiri. Terumbu karang butuh perawatan. Kalau tidak dirawat dan dimonitor,
malah jadi tumpukan sampah dan merugikan laut. ***SS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar