Jumat, 05 September 2025

Sejarah Sains Raja Ampat dari 1700 Hingga Hari Ini

(Coral Bleaching di Raja Ampat | Foto: Istimewa)
     
SUKASELAM.COM, Raja Ampat -
Publik memberi apresiasi pada keputusan Presiden Prabowo Subianto mencabut empat izin tambang nikel di pulau-pulau kecil di Kepulauan Raja Ampat. Keputusan itu menunjukkan keseriusan pemerintah pada komitmen melindungi kawasan Raja Ampat. Wilayah ini adalah cagar alam yang tidak hanya penting bagi ekologi Nusantara, tetapi juga bagi kesehatan iklim planet bumi. Sehingga, keberadaannya harus dilindungi dari kerusakan dan penambangan.

Meskipun, menurut data dari beberapa NGO, selain empat izin yang telah dicabut itu, saat ini masih ada banyak izin tambang lain, eksploitasi hutan, dan industri ekstraksi lain di Raja Ampat.

Dalam peta biodiversitas dunia, Galapagos – Raja Ampat – Madagaskar adalah tiga titik penting di planet bumi yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi dan unik. Tiga lokasi ini adalah situs penting dalam sains naturalisme (biologi, geologi, geografi). Dan monumen yang tidak ternilai harganya bagi kontribusinya pada perkembangan studi evolusi hingga saat ini.

Tulisan ini akan membahas sejarah sains Raja Ampat, untuk menambah pengetahuan kita akan pentingnya kawasan ini. Yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Raja Ampat mungkin baru dikenalnya pada awal dekade 2000an. Ketika pemerintah melakukan pemekaran Provinsi Papua Barat pada saat itu, melalui Undang-undang No. 26 tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Serui, Kabupaten Korom, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat.

Sejak berstatus menjadi wilayah administratif sendiri, Raja Ampat kini semakin dikenal dan berkembang. Sebelum itu, tak banyak dikenal dalam literatur kita, baik di media pun di buku.

Sedang, dalam literatur dunia, Raja Ampat sudah masuk dalam radar global sejak 1703, ketika untuk pertama kali disebut dalam buku laris A Voyage to New Holland, sebuah buku catatan perjalanan dari bajak laut dan penjelajah dunia, William Dampier.  Kini, Dampier diabadikan namanya menjadi Selat Dampier, yakni selat panjang antara Pulau Waigeo dan Pulau Batanta.

Dampier mengunjungi Raja Ampat pada 4-12 Februari 1700 dengan menggunakan kapal HMS Roebuck. Setelah sebelumnya mengunjungi Australia Barat, Rote, Kupang, dan Dili. Terpesona pada keanekaragaman hayati di pulau-pulau kecil di sekitar Kepulauan Raja Ampat, Dampier dan kawan-kawan, yang semula hanya mau lewat saja dalam perjalanan menuju ke pulau-pulau kecil di utara Papua Nugini-- memutuskan untuk buang jangkar dan merapat pada pulau kecil tanpa penduduk yang disebut Dampier sebagai Dove Island, karena dihuni banyak burung merpati.

Pulau Merpati kini adalah pulau kecil di selatan Pulau Mansuar, di tengah-tengah Selat Dampier yang berarus kuat. Beruntung, hingga kini pulau kecil ini masih tetap bebas dari tambang nikel.

Laporan-laporan perjalanan bajak laut William Dampier, seringkali memuat deskripsi flora fauna di setiap wilayah yang disinggahi. Ketika singgah di Raja Ampat, Dampier juga mendeskripsikan sejumlah tumbuh-tumbuhan, burung, kelelawar, laba-laba, ikan pari, hiu, kerang besar, lumba-lumba, ikan bendera, bibir tebal, triger, dan ikan terbang, yang dia temui selama perjalanannya.

Satu pekan di Raja Ampat, anak buah Dampier bahkan sempat menangkap sejumlah kerang besar, tuna, dan merpati untuk stok makanan di kapal. Pulau Merpati digambarkan masih dihuni ribuan burung merpati endemik Papua, yaitu Merpati Kipas atau Merpati Mambruk (Goura sp).  

Dampier menggambarkan untuk menangkap Merpati Kipas saat itu, tidak perlu pakai ketapel atau panah.  Cukup sembunyi diam-diam menunggu di balik rerimbunan tumbuhan perdu, dan saat banyak merpati bertengger di ranting dan dahan, tinggal tangkap dengan tangan langsung.

Namun, saat ini, sudah sulit menemukan merpati kipas hidup liar di Pulau Merpati, dan bahkan di seluruh Raja Ampat. Di dalam daftar merah IUCN, Merpati Kipas kini berstatus Rentan Punah.

Dampier kembali melewati Raja Ampat pada 17-19 April 1700, setelah mengunjungi pulau-pulau kecil di utara Papua Nugini. Laporan-laporan Dampier yang penuh impresi itu, menjadi laporan pertama di dunia, tentang kekayaan keanekaragaman hayati Kepulauan Raja Ampat.

Teori Terumbu Karang

Lebih satu abad setelah terbit laporan perjalanan William Dampier itu, Raja Ampat kembali dikenal dunia melalui laporan naturalis Perancis, Jean Rene Quoy dan Joseph Raul Gaimard.

Quoy dan Gaimard beberapa kali mengunjungi Raja Ampat selama 1817-1820 dengan kapal Astrolobe dan Uranie. Kini, namanya diabadikan menjadi Pulau Quoy dan Pulau Uranie, yakni dua pulau kecil di timur tidak jauh dari Pulau Wayag. Dua pulau kecil ini, saat ini masuk ke dalam Kawasan Konservasi Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Sekitar (K3WSBS), atau disebut juga Suaka Alam Perairan (SAP) Kepulauan Waigeo Sebelah Barat. Sehingga, relatif terlindungi dari eksploitasi liar. Kedua pulau kecil ini, kini juga masih bebas dari invasi rakus pertambangan nikel.

Selama di Raja Ampat, Quoy juga sering mengunjungi Kepulauan Misool yang terkenal memiliki terumbu karang subur, berwarna-warni, dihuni banyak pulau kecil berbentuk seperti payung yang unik, dan perairan sebening kristal. Dari pengamatannya di Misool, Quoy kemudian sampai pada hipotesanya bahwa organisme karang yang membentuk terumbu hanya hidup di perairan dangkal, di mana cahaya matahari dapat menembus. Atau yang kini dikenal sebagai teori dasar terumbu karang. Memperkuat teori karang adalah organisme hidup dari Jean Andre Peyssonel.

Selama meneliti di Raja Ampat, Quoy juga berhasil mengidentifikasi banyak biota karang dan ikan. Salah satu yang terpenting, hiu karang sirip hitam (Carcharhinus melanopterus), yang kini menjadi salah satu maskot penyelaman di Raja Empat. Hiu karang sirip hitam dengan gampang kini bisa kita temui di berbagai titik penyelaman di Raja Ampat, seperti di Wayag dan Misool.

Distribusi Karang

Hasil dari penelitian Quoy selama di Misool itu, juga kemudian menginspirasi teori struktur dan distribusi terumbu karang global dari Charles Darwin, seperti yang kemudian Darwin tulis dalam karyanya yang terkenal, The Structure and Distribution of Coral Reef, 1842. Dalam karyanya ini, Charles Darwin menjelaskan bahwa terumbu karang secara global berkembang di sepanjang Garis Khatulistiwa, pada zona laut tropis antara 23 derajat lintang utara dan 23 derajat lintang selatan. Teori akurat yang dia gambarkan dalam sebuah peta global yang masih langka saat itu.

Lahirnya Teori Evolusi

Lahirnya teori evolusi, sedikit banyak juga berkaitan dengan keunikan Kepulauan Raja Ampat.

Dari 2 buku catatan perjalanan karya William Dampier, A New Voyage Round the World (1697) dan A Voyage to New Holland (1703) itu, lebih 150 tahun kemudian setelah terbit, dua ilmuwan Inggris penemu teori evolusi, yaitu Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace, mendapatkan inspirasi menemukan wilayah kajian lapangan untuk mendapatkan bukti-bukti teori evolusi.

Terinspirasi dari buku A New Voyage Round the World, Charles Darwin kemudian pergi meneliti ke Kepulauan Galapagos, di Ekuador, Pasifik Timur, dengan kapal HMS Beagle, dan kemudian melahirkan Teori Evolusi yang terkenal itu; sedang dari buku A Voyage to New Holland, Alfred Russel Wallace pergi meneliti ke Kepulauan Raja Ampat, di Indonesia, di wilayah Pasifik Barat.

Raja Ampat dan Galapagos adalah dua pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi di Samudera Pasifik, yang terletak pada posisi yang sama, yakni sama-sama dilewati garis khatulistiwa. Alfred Russel Wallace di antara masa meneliti di pulau-pulau Nusantara (1854-1862), kemudian tinggal di Pulau Waigeo, Raja Ampat, selama empat bulan, Juni – September 1860, untuk melakukan penelitian.  Dari penelitian itu, kemudian melahirkan teori biogeografinya yang terkenal, yakni teori Garis Wallace, yang menjadi landasan teori evolusi Charles Darwin tentang seleksi alam.

Semasa tinggal di Waigeo, Wallace juga keliling ke pulau-pulau kecil di Raja Ampat, dan melayari Selat Kabui, yakni selat antara Pulau Waigeo dan Pulau Gam. Di sini dia melaporkan kekaguman atas kesuburan terumbu karang, dan keunikan ekosistem perairan di sepanjang selat sempit itu.

Kini, Selat Kabui dikenal sebagai lokasi dari situs-situs penyelaman rekreasi terkenal seperti The Passage, Terumbu Karang, Gua Bawah Laut, dan Nudibranch Rock yang dihuni ekosistem unik.

Segitiga Karang

Di awal era 2000an, Raja Ampat terus membius peneliti naturalis untuk mengungkap berbagai fenomena alam unik di kawasan ini. Salah satu yang populer kini, yakni area biogeografi segitiga terumbu karang (Triangle Coral), yang hampir setiap hari dikutip peneliti dan penulis Indonesia.

Teori segitiga terumbu karang ini diajukan John E.N Veron, peneliti biologi kelautan Australia, yang mengatakan Raja Ampat merupakan jantung dari kawasan segitiga terumbu karang dunia, yaitu kawasan perairan meliputi Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Wilayah regional segitiga terumbu karang ini, menurut Veron, merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Dihuni lebih 76% spesies biota karang dan lebih 37% spesies ikan terumbu karang yang telah dikenali dan diberi nama di seluruh dunia.

Zona Arlindo

Selain itu, kini juga dikenal teori biogeografi Zona Arlindo. Zona Arlindo adalah zona di bagian tengah perairan Indonesia yang dilewati Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Yakni arus besar yang bergerak dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Karena pengaruh dari Arlindo ini, terumbu karang di Zona Arlindo subur, menjadi spot selam paling menarik di bumi, termasuk Raja Ampat.

Karena memiliki keanekaragaman hayati laut dan darat tinggi, Raja Ampat menjadi ladang subur penelitian bagi peneliti biologi untuk menemukan spesies-spesies baru. Hampir setiap tahun ditemukan spesies ikan baru di kawasan ini. Beberapa ilmuwan yang sangat populer di bidang ini, di antaranya Gerald Allen dan Mark Erdmann, yang telah menemukan ratusan spesies ikan baru selama penelitiannya di Raja Ampat bertahun-tahun. Salah satu prestasinya yang paling spektakuler, adalah mengidentifikasi 388 jenis ikan dalam sekali penyelaman di situs Cape Kri.

Raja Ampat Hari Ini

Lantas, bagaimana Raja Ampat hari ini? Ketika suhu bumi dan pemanasan global mencapai titik kulminasi tertinggi baru, dengan catatan kenaikan suhu global mencapai 1,56 Celcius, dari 2020 hingga hari ini? Apakah masih se-indah laporan William Dampier lebih tiga perempat abad lalu?

Ketika bencana pemutihan karang massal (coral mass bleaching) melanda berbagai ekosistem terumbu karang utama. Ketika terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia, dan di sepanjang perairan timur Brasil, mengalami pemutihan karang. Apakah itu juga berdampak di Raja Ampat?

Dari berbagai laporan para penyelam dan dive center di Kepulauan Raja Ampat, kawasan ini pun tidak luput dari peristiwa serupa. Namun, yang menarik, tidak sampai terjadi pemutihan karang massal. Suhu rata-rata perairan di sebagian besar Raja Ampat, biasanya rata-rata antara 23-29 Celcius. Pada masa krisis pemanasan global saat ini, 2020-2024, di beberapa titik terutama di sepanjang Selat Dampier, suhu dilaporkan kadang mencapai 31 Celcius. Sejumlah foto dan video dari penyelam menemukan pemutihan karang sporadis di situs-situs selam seperti Cape KRI, Cape Mansuar, Sauwandarek Reef, dan di beberapa titik selam lain di sekeliling Pulau Mansuar.

Namun, tidak sampai pemutihan karang massal. Melainkan pemutihan karang sporadis yang menyebar di berbagai titik terumbu, dengan tingkat pemutihan kurang dari 10 persen populasi.

Hal ini menarik, karena menunjukkan tingkat resiliensi biota karang di Raja Ampat cukup tinggi. Namun, juga tidak bisa diabaikan, temuan ini telah menjadi bukti bahwa pemutihan karang juga telah terjadi di Raja Ampat seperti juga di kawasan-kawasan terumbu karang besar lain di dunia.

Dari fenomena terjadinya pemutihan karang di Raja Ampat saat ini, memberikan pengetahuan kepada kita, untuk terus memberikan perhatian dan pemantauan. Keputusan dari pemerintah mencabut izin empat tambang nikel di pulau-pulau kecil di Raja Ampat, memberikan harapan bahwa pemerintah berpihak kuat pada upaya perlindungan ekosistem Raja Ampat dibandingkan dengan kepentingan sesaat untuk eksploitasi tambang. Karena mandat alam telah memberi kita tanggung jawab menjaga tiga poros penting planet bumi Galapagos – Raja Ampat – Madagaskar.***

Referensi:

1.      A New Voyage Round the World, William Dampier, 1697

2.      A Voyage to New Holland, William Dampier, 1703

3.      Voyage Autour Du Monde, Jean Rene Constant Quoy, 1824

4.      The Structure and Distribution of Coral Reef, Charles Darwin, 1842

5.      Kepulauan Nusantara (The Malay Archipelago), Alfred Russel Wallace, Kobam, 2009

6.      Delineating the Coral Triangle, John E.N Veron, 2009

7.      The Pirate Who Collected Plants, Smithsonian Ocean, 2017

8.      Warming Waters Trigger Coral Bleaching in Areas of Raja Ampat, Bird's Head Seascape, 2024

 Wahyuana 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar